Senin, 10 Februari 2014



Drs. KH. Anang Azharie Alie, M.Pd.I

Dalam beberapa dasa warsa terakhir ini di Indonesia acapkali terjdi perbedaan dalam penentuan awal Syawal (idul Fitri). Perbedaan ini tak jarang meninggalkan polemik berkepanjangan di tengah umat.

Mengapa perbedaan itu sering terjadi ? Jawabannya karena ada dua cara yang berbeda dalam memaknai wujudul hilal, yakni Hisab dan Rukyat.

Munculnya perbedaan itu bukan karena beda tanpa berdasar hukum yang menjadi rujukan, akan tetapi karena cara interpretasi mereka  dalam memaknai hadist yang berbunyi :
صُومُوا لِرُؤيَتِهِ وَ أَفطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَإِن غُمَّ عَلَيهِ فَاستَكمِلُواهُ ثَلاَثِينَ يَوماً

Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihatnya, maka apabila tertutup awan sempurnakanlah menjadi 30 hari.

Cara pandang dalam memaknai hadist  inilah  yang  menjadi pangkal perbedaan dalam menetapkan awal dan akhir Romadhon.

Cara yang pertama Rukyat yaitu melihat hilal pada akhir romadhon pada saat maghrib atau istikmal (sempurna), yakni menyempurnakan menjadi 30 hari ketika rukyat terhalang oleh awan (mendung)

Cara yang kedua Hisab yaitu dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan pada peredaran  bulan, bumi, dan matahari menurut ahli hisab (ulamul haiat).

Lalu bagaimana cara kita menyikapi perbedaan yang ada antara Hisab dan Rukyat ?. pertama kita harus mengerti prinsif awal cara pandang rukyat berbeda dengan hisab begitu juga sebaliknya, yang kedua kita bisa meminimalisir perbedaan yang ada dengan cara memadukan kedua-duanya dalam satu prinsif yang sama demi kemaslahatan ummah.

Yaitu dengan konsep imkanurrukyah yang menjadi jembatan penghubung dalam mengatasi perbedaan ditengah umat yang semua pihak harus turut dan mau menerima dengan Legowo (lapang dada).