Senin, 17 Februari 2014



Radikalisme adalah salah satu faham ideologi yang kebablasan, faham ini semakin lama semakin tumbuh subur di bumi Indonesia, Hal ini terjadi tidak mungkin lepas dari peran, para tokohnya, dan para da’i-da’inya yang terlalu sempit memaknai kandungan-kandungan isi Al-Qur’an sehingga sengaja ataupun tidak, telah menyebarluaskan benih-benih radikalisme dengan cara-cara kekerasan, baik kekerasan wacana yang selalu didengungkan di mimbar-mimbar atau media-media bahkan kekerasan-kekerasan  fisik yang selalu diinformasikan dan dipertontonkan oleh seluruh media secara luas hanya dengan dalih kekerasannya untuk berjihad atau amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan bukan oleh orang yang tepat dan dengan cara yang tepat.

Mengingat para pengikut faham ideologi mereka, kebanyakannya berasal dari kaum awam yang hanya ikut dan mengikuti apa yang telah disampaikan oleh para tokohnya, apalagi yang disampaikan itu membakar faham teologi keyakinan dengan mengatakan bahwa kelompok yang tidak sama dengan kita adalah penyembah thogut dan telah kafir karena menjadi antek-antek pengikut iblis. Statemen ini tentu muncul bukan dari mulut seorang yang berkata dengan hikmah akan tetapi muncul dari nafsu emosional membara yang membabi buta mengalahkan kejernihan berfikir, dan juga karena faktor kesempitan pemahaman dalam menafsirkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila nilai jihad yang salah terus disampaikan kepada madh’unya tentu akan membentuk doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang sesat sehingga berubah dari ideologi menjadi teologi, apabila sudah menjadi teologi maka semua kelompok selain mereka dikatakan salah dan mereka akan mati-matian membela teologi yang mereka yakini itu walaupun harus mengorbankan jiwa raga dan tetesan darahnya. padahal Al-Qur’an sendiri sudah menunjukan bahwa kebenaran itu adalah milik Allah SWT. dan manusia atau suatu kelompok tidak boleh merasa paling benar karena kebenaran manusia itu sifatnya relatif bergelombang, kadang ada saatnya benar kadang pernah juga salah. Jadi kebenaran tidak bisa difanatiskan menjadi milik pribadi atau satu kelompok.

(Kebenaran itu dari Tuhanmu)
Hak Mutlak milik Allah, Jadi lebih tepatnya kita semua manusia adalah sang ‘pencari kebenaran’ yang mana kebenaran itu akan kita jumpai setelah tibanya keyakinan/kematian.


(Beribadahlah kepada Robbmu sampai datangnya keyakinan/kematian)

Radikalisme bukanlah idealisme, Radikalisme lebih mengedepankan jalan pintas (short cut) untuk mencapai maksud tujuannya walaupun harus ditempuh dengan segala cara tanpa menimbang-nimbang maslahat dan mafsadatnya karena otak pikirannya sudah diiming-imingi dengan janji-janji yang belum pasti akan mereka temukan nanti, dan lagi yang mendominasi fikiran mereka  adalah rasa emosi dan kebencian kepada yang tidak sepaham dengannya bukan rasa kasihan kepada mereka karena belum mendapatkan percikan hidayah Allah SWT. dan lalu mendoakannya.

Dalam faham ini para pengikutnya terlalu berangan-angan akan merubah masyarakat muslim secara instant kepada tujuan dan harapan yang telah menjadi cita-cita dan tujuan kelompok mereka. Akan tetapi mereka lupa untuk menentukan mana yang harus dijadikan ‘jalan’ dan mana yang menjadi ‘tujuan’, sehingga ketika ‘jalan’ dijadikannya sebagai ‘tujuan’ maka sebenarnya mereka sedang membela dan mengejar-ngejar sesuatu yang semu dan fatamorgana yang belum tentu pas kebenarannya. Mengapa Rasululloh SAW mengajarkan kepada kita dalam setiap kita hendak beramal baik sholat lima waktu atau amalannya yang lain selalu mengakhiri nawaitu kita dengan kata LILLAHI SWT? Tujuannya karena Allah semata. kalaulah hanya Allah SWT. yang dijadikannya sebagai ‘tujuan’, maka untuk mengambil ‘jalan’nya pun harus ditempuh dengan cara-cara yang diridhoi di jalan Allah SWT. yaitu dengan hikmah, mau’izhoh hasanah dan mujadalah bilati hiya ahsan.

Jadi inilah yang harus dijadikan sebagai ‘tujuan’ oleh setiap individu mukmin dalam berjuang, jadi bukan karena ‘agama’ akan tetapi lebih jauh dari itu karena ‘pemilik agama’ atau bukan pula karena fanatis kelompok’ akan tetapi karena ‘pemilik dan penggenggam nyawa kelompoknya itu’. Jika tujuannya benar maka perjuangnya pun harus dengan ‘jalan’ yang benar pula. Mengapa tujuannya itu harus Lillah?, karena dari situlah muara pertama dan titik terakhir (alhasil) dari sebuah perjuangan, yaitu ketika berubahnya suatu kelompok masyarakat yang kita rangkul lalu kita bawa dan kita ajak ke arah positif yang lebih baik, karena asbabnya telah mendapatkan hidayah, dan hidayahlah yang menjadi anak kunci perubahan, yang sumbernya hanya dari milik penggenggam hati manusia yaitu Allah SWT.  Sekuat apapun usaha dan perjuangan kita kalau kehendak Allah SWT. belum diberikan pasti tidak terjadi perubahan dan perbaikan, artinya kalaupun kita ingin memaksimalkan cara/ jalan usaha kita untuk mendapatkan hidayah tentu kita harus menggunakannya dengan ‘jalan’ yang arif dan penuh hikmah.

Sebagaimana Baginda Rasulullloh SAW. sendiri ketika berkeinginan agar pamannya Abu Tholib mendapatkan hidayah karena sudah simpatik dan membela perjuangan dakwah nabi ternyata kehendak Allah SWT. dalam kitab azalinya di lauhulmahfudz menentukan lain, dan ini terjadi dari seorang nabi kita yang suci dan disucikan apatah lagi bagi kita umatnya tentu selazimnya harus lebih banyak mengedepankan usaha dan upaya  yang nyata dan maksimal tapi jangan lupa senjata pamungkas terakhir dari seorang mukmin yaitu do’a. Semoga Allah SWT.  Menunjukan jalan yang lurus bagi kita semua umat nabi Muhammad SAW. agar sampai kepada jalan mardhotillah. Amien.

0 komentar: