Drs. KH. Anang Azharie Alie, M.Pd.I
Dalam beberapa
dasa warsa terakhir ini di Indonesia acapkali terjdi perbedaan dalam penentuan
awal Syawal (idul Fitri). Perbedaan ini tak jarang meninggalkan polemik
berkepanjangan di tengah umat.
Mengapa
perbedaan itu sering terjadi ? Jawabannya karena ada dua cara yang berbeda
dalam memaknai wujudul hilal, yakni Hisab dan Rukyat.
Munculnya
perbedaan itu bukan karena beda tanpa berdasar hukum yang menjadi rujukan, akan
tetapi karena cara interpretasi mereka
dalam memaknai hadist yang berbunyi :
صُومُوا لِرُؤيَتِهِ
وَ أَفطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَإِن غُمَّ عَلَيهِ فَاستَكمِلُواهُ ثَلاَثِينَ يَوماً
Berpuasalah kamu
karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihatnya, maka apabila
tertutup awan sempurnakanlah menjadi 30 hari.
Cara pandang
dalam memaknai hadist inilah yang menjadi
pangkal perbedaan dalam menetapkan awal dan akhir Romadhon.
Cara yang
pertama Rukyat yaitu melihat hilal pada akhir romadhon pada saat maghrib atau
istikmal (sempurna), yakni menyempurnakan menjadi 30 hari ketika rukyat
terhalang oleh awan (mendung)
Cara yang kedua
Hisab yaitu dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan pada peredaran bulan, bumi, dan matahari menurut ahli hisab
(ulamul haiat).
Lalu bagaimana
cara kita menyikapi perbedaan yang ada antara Hisab dan Rukyat ?. pertama kita
harus mengerti prinsif awal cara pandang rukyat berbeda dengan hisab begitu
juga sebaliknya, yang kedua kita bisa meminimalisir perbedaan yang ada dengan
cara memadukan kedua-duanya dalam satu prinsif yang sama demi kemaslahatan
ummah.
Yaitu dengan
konsep imkanurrukyah yang menjadi jembatan penghubung dalam mengatasi
perbedaan ditengah umat yang semua pihak harus turut dan mau menerima dengan
Legowo (lapang dada).