Ust. Hidayatulloh, A.MD
Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria
ini. Orang-orang biasa memanggilnya Pak Ahmad. Saya tertarik dengan falsafah
hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini,. Dari sinilah
perbincangan kami mengalir lancar.
Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi yang diprogram sebuah Perusahaan tempat saya
bekerja. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari
pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.
Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang
dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun
tidak seperti yang saya duga, Pak Ahmad berasal dari keluarga yang pas-pasan.
Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap
hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa
kali perbincangan yang kami bangun.
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai
karyawan. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang
lain, satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Kami bercerita tentang dapur
kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Yang membedakan sangat
mencolok antara saya dan Pak Ahmad adalah sikap hidupnya yang amat berbudi.
Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.
Penghasilannya sebulan sebagai karyawan kontrak
tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia
juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga
selesai SMA. Sering pula Pak Ahmad menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang
tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa
mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah
yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika
dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."
"Maksud Pak Ahmad gimana, aku nggak
ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita
akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena
berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa
cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja
kurang."
"Kenyataannya memang begitu kan Mas?",
kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa
hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan
pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir
matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya.
Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang
seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"
"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki
sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang
tidak terduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya.
Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin
masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?
"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu
rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk
mendapat jawabannya.
"Ya memang habis, karena kita masih memakai
logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada
logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa
jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu
atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya
lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada
Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik
kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk
WC."
Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban
yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh
kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang
berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa
cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah,
hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk
memberi dan berbagi.
Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya
lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Pak
Ahmad seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan
untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya.
Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru
perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk
itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.
“Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan
nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?”.
“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang
jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan
keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke
bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha
dan syukur”. Saya semakin tertegun
Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang
telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Pak Ahmad. Terlalu kerdil
selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya
rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat
egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang
telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui
pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang
masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
***
Sepulang berjamaah saya membuka kembali
Al-Qur'an. Ada getaran seolah menarik
saya untuk meraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya
terperanjat, sedetik saya ingat Pak Ahmad. Allah mengingatkan saya kembali:
"Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."
(Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)
0 komentar:
Posting Komentar