Ada beberapa istilah yang
digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada kematian, antara lain al-wafat
(wafat), imsak (menahan).
Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,
"Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."
"Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."
Musthafa Al-Kik menulis dalam
bukunya Baina ‘Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat
berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya,
dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua
secara perlahan. Yang mati mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami
apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran
yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.
Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi saw- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi'at [79]: 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42 yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah saw untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah: "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)."
Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39): 42 sebagai berikut:
"Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi."
Kalau demikian. mati itu sendiri "lezat dan nikmat," bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia. Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini.
Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati) ...".
Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi saw- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi'at [79]: 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42 yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah saw untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah: "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)."
Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39): 42 sebagai berikut:
"Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi."
Kalau demikian. mati itu sendiri "lezat dan nikmat," bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia. Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini.
Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati) ...".
Manusia dapat
"menghibur" dirinya dalam menghadapi kematian dengan jalan selalu
mengingat dan meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak seorang pun
akan luput darinya, karena "kematian adalah risiko hidup." Bukankah
Al-Quran menyatakan bahwa,
"Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali
'Imran [3]: 183) "Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk seorang
manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu meninggal dunia mereka akan kekal
abadi? (QS Al-Anbiya' [21]: 34)
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang
buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya
dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki
kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati. Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya… Amieen ya robbi..
Karena
waktu terus berjalan dengan begitu cepat. Berbagai urusan dan masalah terus
datang silih berganti. Sementara diri terus diburu oleh ajal, yang akan datang
secara mendadak dan tiba tiba.
Begitu
ajal datang... tanpa tanda tanda... dan tanpa kompromi... layar tertutup untuk
selamanya. Kesempatan mencari bekal telah habis jatahnya.
Tinggal
menghadapi kenyataan apakah diri cukup bekal AMAL menghantar pada kebahagiaan
kekal abadi... atau sebaliknya tiada cukup bekal hingga terhenti dalam
kesengsaraan abadi.
Diri
peduli atau tidak peduli sama sekali... pasti akan sampai suatu masa dihadapan
hanya dua hal... surga atau neraka. Selain Rahmat Allah hanya timbangan AMAL
yang menentukan.
Satu satunya bekal yang bisa dibawa mati hanyalah AMAL.
Apakah anda akan menyia nyiakan hidup anda tanpa
berbuat banyak didunia utuk beramal ibadah?
0 komentar:
Posting Komentar