Kamis, 06 Maret 2014



Endang Wahyuni
VI IPA TMI

Aula yang penuh sesak, hiruk-pikuk para siswa MA Tarbawi memenuhi udara. Semuanya bersorak, bertepuk tangan dan terkadang bersuit-suit meneriakan idolanya. Inilah malam yang paling dinanti-nanti oleh seluruh warga sekolah, karena malam inilah dimana diselenggarakannya audisi singer idol babak final, acara yang paling spektakuler dan bergengsi di seantero sekolah setelah acara pensi kelas akhir.

Dan tahukah kalian, siapa sajakah para finalis malam ini? Ada Ardila dari kelas IX-II yang suaranya hampir mirip dengan Nike Ardila, dia tak mempermalukan mamahnya yang telah memberikan nama belakang penyanyi legendaris akhir tahun 90-an itu. Juga ada Melody dari kelas XI IPS yang suranya sebening embun jika yang memujinya adalah para penyair. Dan tidak diragukan lagi dari XI IPA-1. Sesuai arti namanya, Mavis yang diambil dari bahasa Yunani yang berrti burung, jika dia bernyanyi bisa diibaratkan seperti burung yang sedang berkicau, merdu. Tapi dari semua finalis yang berhak dan pantas mendapatkan Tropi Singer hanyalah satu, yang jika ia bernyanyi semua orang akan tersihir oleh suaranya, penghayatannya yang sepenuh hati, lengkingan suaranya, penguasaannya dalam vokal, juga penguasaan panggung yang begitu menakjubkan. Siapa lagi kalau bukan AKU?  Ya itulah diriku, CELIA perlambang musik bagi orang- orang Yunani.

Jika Joy Tobing tampil dengan serba keemasan pada babak final Indonesian Idol, maka malam ini dengan dibalut gaun biru langit bermotif bunga lili putih kecil, aku membawakan lagu yang pada saat babak final Indonesian Idol mengantarkan Joy pada kemenangan mutlak, “Semua Karena Cinta”.

Dengan latihanku tiga minggu ini aku yakin, aku akan jadi pemenang telak. Tidak akan kusia-siakan kesempatan berharga ini. Percuma saja jika aku hanya mendapat tropi perak atau perunggu, padahal selama latihan aku selalu di bentak dan di marahi oleh Bu Sonia, pelatihku jika sedikit saja aku salah menarik suara.

Sebentar lagi giliranku setelah penampilan Melody dengan Merpati Putihnya Agnes Monica, menakjubkan, dia membawakanya dengan pas, lebih baik dari latihannya kemarin. Tapi lihat saja itu belum seberapa di banding laguku.

“Baiklah, hadirin sekalian acara samakin memanas, semua finalis yang talah tampil sungguh luar biasa bak seperti penyanyi ulung yang dimiliki negri ini. Beranjak ke penampilan selanjutnya yang pasti anda tunggu-tunggu. Inilah........ CELIA...! tepuk tangan yang meriah.”

Huh pembawa acara yang terlalu banyak cingcong, tidak tahu apa, aku sedang deg-degan. Selalu saja begini, tiap kali naik panggung aku pasti menderita demam panggung, gak parah sih cuma sedikit mengganggu. Padahal ini bukan pertamanya aku berdiri di hadapan orang banyak.

Kutarik nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki. Ingat Celia semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan berjalan sesuai mimpimu, yakinku dalam hati. Bayangkan bagaimana para sang juara meraih kesuksesannya. Ingat semuanya semata-mata hanya dirimu sendiri, bukan untuk orang lain. Aku terus memotifasi diriku, itulah salah satu caraku untuk mengatasi demam panggungku.

Intro lagu telah diperdendangkan oleh Pak Bob dengan keyboardnya. Sebait dua bait lagu telah aku selesaikan, “Dan bila aku berdiri tegak sampai hari ini bukan karena kuat dan hebatku semua karena cinta semua karena cinta tak mampu diriku dapat berdiri tegak trimakasih cinta.”Refrain pertama kukuasai dengan baik. Tapi rasanya ada yang mengganjal di tenggorokanku, ah bukan itu hanya gangguan sepele.

Dan ketika memasuki reff terakhir, malapetaka itu datang. Ya bagiku itu malapetaka bahkan malapetaka yang sangat besar, yang meruntuhkan semua angan-anganku. Bagaimana tidak? Disaat paling dibutuhkan tenggorokanku tak bisa diajak kompromi, dia melengking tak karuan diluar perintah otakku. Tenggorokan sial dan bait refrain lagu sialan, huh aku benci semua. Air mukaku langsung memucat, aku tak habis pikir kenapa kejadian ini harus terjadi, memalukan padahal ketika latihan tak ada satupun kesalahan fatal yang kuperbuat, paling hanya pengambilan tempo yang kurang tepat yang memancing kemarahan Bu Sonia.

Setelah lagu ku ahkiri kulangkahkan kakiku engan gontai menuruni tangga panggung, tubuhku lemas pikiranku tak ada di bumi, melayang entah kemana,  suara riuh tepuk tangan audiens memekakan telingaku, semuanya terlihat dan terdengar sangat buruk. Membayangkan kejadian terburuk yang siap aku alami, gagal. Ini adalah kegagalan pertamaku, sebelumnya tak pernah begini. Bagaimana dengan reputasiku, dengan prestasi-prestasiku selama ini dan bagaimana pula dengan para penggemar setiaku yang selalu mendukungku? Tiba-tiba semua terlihat kuning, remang lalu perlahan meredup. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
                                                                        ***
Tempat apa ini? Sesaat aku seperti melayang, tubuhku ringan seperti kapas dan menembus awan? Tidak, apakah ini di dunia lain? Seingatku aku masih baik-baik saja setelah turun dari panggung dan semuanya tiba-tiba berubah menjadi gelap.

Lihatlah, aku sendiri disini, hanya hamparan padang pasir tak berujung yang terlihat, dan oh Tuhan aku memekik perlahan demi melihat pemandangan menakjubkan ini, bukan awan gelap atau langit biru yang menaungiku tapi langit pelangi, ya semuanya berwarna MEJIKUHIBINIU, indah. Tempat apa ini? Aneh walaupun hanya padang pasir yang kutemui tak sedikitpun aku merasa panas, malah angin sepoi-sepoi yang setiap saat menerpa wajahku. Sejuk. Tanpa bisa diajak kompromi kakiku melangkah menyusuri ‘tempat aneh’ ini.

Wuush…. Tiba-tiba angin bertiup kencang menerbangkan pasir-pasir yang berada di depanku, belum sempat aku menutup mata pasir-pasir itu sudah menyocok menyerang mataku, perih tak dinyana. Dalam hati aku mengutuk habis-habisan keadaan ini, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ketika itu samar-samar aku mendengar suara langkah-langkah kaki berat dari dua makhluk yang berjalan di sampingku.

“Kasihan sekali gadis malang ini, sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah tidak dapat tropi emas matanya hamper buta bahkan suara emasnyapun hampir hilang.”iba makhluk berjalan itu yang tanpa diketahui Celia adalah dua ekor kura-kura dengan langkah berat.

“Hisss.. ngapain manusia seperti itu dikasihani.manusia sombong seperti dia memang seharusnya diberi pelajaran. Suaranya harus dihilangkan bila perlu matanya pun tidak usah diberi penglihatan jika dia masih saja berjalan dengan sombong di muka bumi ini, agar dia tidak bisa pamer dengan suara  emasnya itu dan selalu menganggap rendah manusia di sekitarnya dan juga agar dia bisa lebih menundukan pandangan dari silaunya dunia ini.” Ucap kura-kura  yang satunya lagi tanpa tedeng aling-aling.

“Ya sudah daripada kita membahas manusia sombong ini lebih baik kita bergegas melanjutkan perjalanan kita yang masih sangat jauh untuk ditempuh.”Ajak kura-kura satunya lagi.

Seketika ada sesak di dadaku batinku bertanya-tanya apakah aku sejahat itu?Dalam diam aku menangis, menangis tanpa isak. Aku sangat menyesali sikap angkuhku itu, diam-diam hati ini beristighfar memuji asma Tuhan yang masih memberi pelajaran dan kesempatan yang lebih berharga daripada tropi emas itu melalui suara-suara yang tidak aku ketahui asal muasalnya .

Angin bertiup sangat kencang, aku merasa tubuhku perlahan-lahan terangkat dan seperti ada tenaga yang begitu kuat  menyedotku, tubuhku ringan seperti kapas, melayang terbawa angin kencang tersebut. Aku  tidak tahu keadaaan persisnya karena mataku masih saja tertutup rapat seperti ada lem perekat disana yang kurasakan hanyalah tubuhku semakin meringan dan terus  meringan, walaupun  tidak bisa melihat aku tahu pasti bahwa cahaya disekitarku berubah menjadi semakin  gelap.

Tiba-Tiba tepukan di pipi mengejutkanku, seketika aku tersentak bangun dan mendapati diriku berada di ruang UKS sekolah. Disekeliling ranjang  teman-teman dan guru-guru memandang cemas ke arahku, Melody, Mavis, dan Nike ada diantara mereka. Mereka tampak lega setelah melihatku siuman. Baru kusadari bahwa ternyata kejadian aneh tadi hanya ilusi belaka tetapi aku sadar betapa berharganya pelajaran yang dapat kupetik dari kejadian tersebut. Dan aku juga bersyukur suara dan mataku masih utuh. Terima kasih Tuhan Engkau telah memperingatkanku sebelum aku terperosok ke dalam lubang kesombongan yang lebih dalam. Kini aku berjanji tidak akan berjalan di muka bumi ini dengan rasa angkuh.
           
“Melody, Nike, Mavis, maafkan aku yah! Walaupun kalian tidak menyadarinya aku telah berbuat dzalim terhadap kalian dengan menganggap remeh kemampuan yang ada pada diri kalian.”Ku rangkul teman-temanku itu dan memantapkan janjiku dalam hati.

0 komentar: