Selasa, 18 Maret 2014



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sangat mengherankan urusan orang mukmin itu, sesungguhnya seluruh perkara (yang menimpanya) baginya adalah semuanya baik. Tidaklah hal itu dimiliki oleh siapa pun kecuali bagi seorang mukmin, jika ia mendapatkan kebaikan, maka ia bersyukur dan hal itu adalah baik baginya, dan jika ia tertimpa suatu musibah maka ia bersabar dan itu adalah baik baginya”. (HR. Muslim)
Hadits tersebut menunjukkan kebaikan sebuah musibah atau cobaan yang menimpa seorang mukmin apabila ia bersabar. al-Hasan berkata, “Sabar adalah harta simpanan dari tabungan kebaikan yang tidaklah Allah Ta’ala berikan melainkan kepada seorang hamba yang mulia disisiNya”.
Dan di antara bentuk-bentuk kesabaran atau adab ketika tertimpa musibah adalah :
*Hendaknya sabar itu terjadi di awal kejadian, yaitu ketika terjadi bencana yang besar, seperti kematian, sakit keras, kecurian, kebakaran atau yang sejenisnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hanyasanya sabar itu adalah ketika di awal kejadian”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)


*Tenangnya seluruh anggota badan dengan menjauhkannya dari hal-hal yang dilarang oleh syari`at, seperti menampar-nampar pipi, membentur-benturkan kepala, merobek baju, menjambak-jambak rambut dan yang semisalnya kecuali menangis karena hal itu dibolehkan. Ahli hikmah berkata, “Kesedihan dan kegelisahan tidak akan mengembalikan sesuatu yang hilang, akan tetapi akan menambah kegembiraan orang yang senang ketika orang lain tertimpa musibah”.


*Tidak terlihatnya perubahan yang berarti akibat musibah yang menimpa, seolah-olah sama antara ketika ia tertimpa musibah dan tidak tertimpa musibah. Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata, “Adalah pernah dikatakan, “Termasuk lemah (bersedih yang berlebihan) adalah berdiam di rumah setelah terjadinya musibah”. Khalid bin Abi Utsman berkata, “Anak laki-laki saya meninggal dunia lalu Sa`id bin Jubair melihat saya dalam keadaan menutup wajah (menutup diri), maka ia berkata kepadaku, “Jauhilah olehmu menutup wajah (menutup diri) karena hal itu termasuk bersedih yang berlebihan (lemah tidak bersemangat akibat musibah). Sedangkan menangis tanpa mengeluarkan suara, ataupun bersedih yang tidak berlebihan, dan tidak mengucapkan perkataan-perkataan yang diharamkan, maka hal tersebut tidak menafikan kesabaran dan ridha. Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan Nabi Ya`qub alaihis salam ,, artinya, “Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). (QS.Yusuf :84). Qatadah berkata, “Menahan amarah karena sedih, maka ia tidaklah mengucapkan sesuatu kecuali kebaikan,” dalam ayat berikutnya, artinya, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya”. (QS. Yusuf: 86).


*Di antara yang dapat menafikan kesabaran sehingga seseorang tidak dikatakan sabar adalah, memperlihatkan musibah yang menimpanya, berkeluh kesah dan menceritakan hal tersebut kepada orang lain tanpa adanya faidah yang diperoleh. Imam al-Ahnaf berkata, “Kedua mataku telah buta sejak 40 tahun, dan tidak pernah aku ceritakan hal tersebut kepada seorang pun”. Fudhail bin Iyad berkata kepada seseorang yang sedang mengeluh kepada orang lain, “Wahai saudaraku… engkau mengeluhkan sesuatu yang engkau harapkan dapat mengasihimu kepada yang tidak mampu memberikan kasih sayang…! “.

0 komentar: