Drs. KH.
Anang Azhari Alie, M.Pd.I
Alhamdulillah,
as-sholatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah,
waba’d.
Imam
Al-Bukhori, At-Thabroni, Dawud dan Ibnu Hazm membolehkan membaca al-qur’an bagi
orang yang junub maupun haidh, begitu juga ibnu Abbas berpendapat, apalagi
hanya menyentuh, mereka berpegang pada hadist yang diriwayatkan Imam Bukhori
dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW. Mengirimkan surat kepada raja Herakluis yang
berbunyi :
بسم
الله الرحمن الرحيم
قال الله تعالى إلى أن قال يا أهل الكتاب
تعالوا إلى كلمة سوآء بيننا وبينكم ألاّ نعبد إلاّ الله ولانشرك به شيئا ولا يتخذ
بعضنا بعضا أربابا من دون الله ج فإن نولوا فقولوا اشهدوا بأنّا
مسلمون. (ال
عمران أية 64 )
Ibnu Hazm
berpendapat, bahwa Rasulullah mengirimkan surat itu kepada orang nashrani yang
di dalamnya
terdapat ayat Al-Qur’an dan ia merasa yakin bahwa mereka pasti menyentuh surat
tersebut.
Jumhurul
‘Ulama berpendapat : Tidak ada larangan untuk menyentuh apapun yang mengandung
ayat-ayat al-qur’an didalamnya, seperti surat, kitab-kitab tafsir al-qur’an,
kitab-kitab fiqh dan sebagainya. Karena itu semua tidak dinamakan Mushaf, maka
tidak haram menyentuhnya.
Ada hadist
lain dari Ali ra., Ia berkata bahwa rasulullah SAW. Tidak pernah meninggalkan
membaca ayat-ayat al-qur’an kecuali sedang janabah (HR. ashabussunan yang
ditashih oleh Imam Tirmidzi dan diho’ifkan oleh sebagian yang lain).dan hadist
dari al-Hasan ra. Ia berkata Aku melihat Rasulullah berwudhu, lalu membaca
al-qur’an, kemudian beliau bersabda :
“Beginilah
yang dapat dilakukan orang yang tidak berjunub, bagi yang berjunub, maka
tidaklah melakukannya dan tidak perlu membaca ayat”
Menurut
sebagian ulama bahwa riwayat hadist tersebut tidaklah menjadi dalil haram
apalagi makruhnya membaca al-qur’an, karena maksud utamanya adalah bahwa nabi
SAW. Meninggalkan membaca al-qur’an ketika dalam keadaan janabah.
Kesimpulan
yang dapat ditarik adalah sebagai berikut ;
- Boleh menyentuh dan membaca ayat-ayat al-qur’an jika berbentuk qur’an tarjamah, qur’an tafsir dan lainnya selain mushaf, bagi yang sedang menuntut ilmu (dalam keadaan terpaksa) tapi ia dalam keadaan haidh ataupun janabah.
- Jika bukan dalam keadaan menuntut ilmu, dan bukan dalam keadaan terpaksa maka sebaiknya meninggalkannya untuk sementara.
- Santri putri tahfidz, walaupun dalam keadaan haidh tidak ada larangan untuk menghafal al-qur’an atau memuroja’ahnya, apalagi jika keadaannya tuntutan ujian syafahi.
- Bagi guru-guru tahfidz putri atau santri tahfidz putri hendaknya mengadakan atau menyiapkan qur’an tarjamah sebagai pengganti Mushaf, begitu juga para penguji fiqh dalam ujian lisan.
- Tidak ada alasan apapun bagi santri tahfidz putri atau yang sedang mengikuti ujian tahfidz al-qur’an untuk meninggalkan tahfidz sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Pada
dasarnya seorang muslim/muslimah dianjurkan untuk membaca al-Quran, karena
membaca al-Quran merupakan bagian dari ibadah (al-muta’abbad bi tilawatihi). Namun untuk
membaca al-Quran disyaratkan untuk bersuci terlebih dahulu dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats
besar.
sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
“Orang yang sedang haidh atau junub
tidak boleh membaca sesuatu dari al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan
al-Baihaqi.
Yang perlu
diperhatikan bahwa pengertian “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat
al-Quran melalui mulut dengan melihat mushhaf.
Sedangkan
apabila orang yang sedang haidh/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Quran
kemudian melihat tarjamahan al-qur’an yang berbahasa indonesia dan membacanya dalam
hati, maka yang demikian itu dibolehkan. Dengan alasan bahwa al-qur’an tarjamah
bukan disebut mushaf. Sebagaimana hadist dari aisyah ra.
Dari Aisyah, dia berkata,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya”
[Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain]Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan imam yang lainya, tentang bolehnya orang perempuan haid membaca Al-Qur’an. Kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya baik suci maupun junub, dan yang termasuk dalam katagori berdzikir ialah membaca Al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2] (Al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr : 9]
“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir” [An-Nahl : 44]
Jadi hukum
membaca al-qur’an tarjamah bagi santri tahfidz perempuan yang sedang haid dikembalikan
kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca dan menghafal Al-Qur’an
itu sendiri tentu nilainya jauh lebih penting dan utama.
Bahkan kalau
kita mau ambil pendapat imam mazhab Maliki juga membolehkan bagi orang haidh
untuk membaca al-Quran, dengan alasan bahwa sayyidatina Aisyah R.A. pernah
membaca al-Quran dalam keadaan sedang haidh. Namun pendapat tersebut ditentang
oleh syafi’iyyah.
Wallahu ‘alamu bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar