Senin, 26 Mei 2014



Drs. KH. Anang Azhari Alie, M.Pd.I

Alhamdulillah, as-sholatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’d.

Imam Al-Bukhori, At-Thabroni, Dawud dan Ibnu Hazm membolehkan membaca al-qur’an bagi orang yang junub maupun haidh, begitu juga ibnu Abbas berpendapat, apalagi hanya menyentuh, mereka berpegang pada hadist yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW. Mengirimkan surat kepada raja Herakluis yang berbunyi :
بسم الله الرحمن الرحيم
قال الله تعالى إلى أن قال يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سوآء بيننا وبينكم ألاّ نعبد إلاّ الله ولانشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله ج فإن نولوا فقولوا اشهدوا بأنّا مسلمون. (ال عمران أية 64 )
Ibnu Hazm berpendapat, bahwa Rasulullah mengirimkan surat itu kepada orang nashrani yang di dalamnya terdapat ayat Al-Qur’an dan ia merasa yakin bahwa mereka pasti menyentuh surat tersebut.
Jumhurul ‘Ulama berpendapat : Tidak ada larangan untuk menyentuh apapun yang mengandung ayat-ayat al-qur’an didalamnya, seperti surat, kitab-kitab tafsir al-qur’an, kitab-kitab fiqh dan sebagainya. Karena itu semua tidak dinamakan Mushaf, maka tidak haram menyentuhnya.
Ada hadist lain dari Ali ra., Ia berkata bahwa rasulullah SAW. Tidak pernah meninggalkan membaca ayat-ayat al-qur’an kecuali sedang janabah (HR. ashabussunan yang ditashih oleh Imam Tirmidzi dan diho’ifkan oleh sebagian yang lain).dan hadist dari al-Hasan ra. Ia berkata Aku melihat Rasulullah berwudhu, lalu membaca al-qur’an, kemudian beliau bersabda :
“Beginilah yang dapat dilakukan orang yang tidak berjunub, bagi yang berjunub, maka tidaklah melakukannya dan tidak perlu membaca ayat”
Menurut sebagian ulama bahwa riwayat hadist tersebut tidaklah menjadi dalil haram apalagi makruhnya membaca al-qur’an, karena maksud utamanya adalah bahwa nabi SAW. Meninggalkan membaca al-qur’an ketika dalam keadaan janabah.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut ;
  1. Boleh menyentuh dan membaca ayat-ayat al-qur’an jika berbentuk qur’an tarjamah, qur’an tafsir dan lainnya selain mushaf, bagi yang sedang menuntut ilmu (dalam keadaan terpaksa) tapi ia dalam keadaan haidh ataupun janabah.
  2. Jika bukan dalam keadaan menuntut ilmu, dan bukan dalam keadaan terpaksa maka sebaiknya meninggalkannya untuk sementara.
  3. Santri putri tahfidz, walaupun dalam keadaan haidh tidak ada larangan untuk menghafal al-qur’an atau memuroja’ahnya, apalagi jika keadaannya tuntutan ujian syafahi.
  4. Bagi guru-guru tahfidz putri atau santri tahfidz putri hendaknya mengadakan atau menyiapkan qur’an tarjamah sebagai pengganti Mushaf, begitu juga para penguji fiqh dalam ujian lisan.
  5. Tidak ada alasan apapun bagi santri tahfidz putri atau yang sedang mengikuti ujian tahfidz al-qur’an untuk meninggalkan tahfidz sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

   
Pada dasarnya seorang muslim/muslimah dianjurkan untuk membaca al-Quran, karena membaca al-Quran merupakan bagian dari ibadah (al-muta’abbad bi tilawatihi). Namun untuk membaca al-Quran disyaratkan untuk bersuci terlebih dahulu dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. 
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi.
Yang perlu diperhatikan bahwa pengertian “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat al-Quran melalui mulut dengan melihat mushhaf.
 
Sedangkan apabila orang yang sedang haidh/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Quran kemudian melihat tarjamahan al-qur’an yang berbahasa indonesia dan membacanya dalam hati, maka yang demikian itu dibolehkan. Dengan alasan bahwa al-qur’an tarjamah bukan disebut mushaf. Sebagaimana hadist dari aisyah ra. 
Dari Aisyah, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain]
Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan imam yang lainya, tentang bolehnya orang perempuan haid membaca Al-Qur’an. Kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya baik suci maupun junub, dan yang termasuk dalam katagori berdzikir ialah membaca Al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2] (Al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir” [An-Nahl : 44]
Jadi hukum membaca al-qur’an tarjamah bagi santri tahfidz perempuan yang sedang haid dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca dan menghafal Al-Qur’an itu sendiri tentu nilainya jauh lebih penting dan utama. 
Bahkan kalau kita mau ambil pendapat imam mazhab Maliki juga membolehkan bagi orang haidh untuk membaca al-Quran, dengan alasan bahwa sayyidatina Aisyah R.A. pernah membaca al-Quran dalam keadaan sedang haidh. Namun pendapat tersebut ditentang oleh syafi’iyyah.
Wallahu ‘alamu bisshowab.

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

0 komentar: