Najla Putei Mawaddah
Kelas VI TMI
Hari begitu
cerah merona, seperti
cerahnya wajah Putri
yang bereri-seri karena
bahagia. Walaupun saat
ini hujan turun
dengan sangat deras,
dan petir menggelegar.
Namun cerahnya cahaya
kebahagiaan Putri, dapat
mengalahkan kilat yang
mengerjap, hujan yang
deras, dan petir
yang menggelegar.
"Mah... Bu
Dewi, sudah melahirkan,
kan? Anaknya laki-laki
atau perempuan, Mah?"
Hambur Putri dengan
banyak pertanyaan pada
mamahnya. Ya... kebahagiaan
Putri, bermula karena
Bu Dewi, tetangga
sekaligus sahabat orang
tuanya yang melahirkan
anak kedua. Keluarganya
dengan keluarga Bu
Dewi, memang sangat
bersahabat. Sehingga sudah
dianggap saudara sendiri.
"Sudah, Kak!
Ini mamah dan
ayah mau ke
rumah sakit. Kamu
jaga ade ya!"
Pesan Bu Yuni,
tak lain adalah
mamahnya.
"Ah... mamah!
Kakak ikut dong!
Please... masa di
suruh jagain ade
yang super cengeng
plus cerewet, sih!
Mendingan ade di
titipin di Bu
Nur aja, Mah!"
Ucap Putri, dengan
ceplas ceplosnya meledek
adiknya. Baginya, adiknya
itu adalah seorang
yang paling menyebalkan.
"Gak bisa
gitu dong, Kak!
Kamu ini seorang
kakak. Wajib hukumnya
menjaga dan menyayangi
adikmu itu. Sekarang,
adikmu sedang tidur.
Nanti kalau dia
sudah bangun, bilang
saja ayah dan
mamah pergi sebentar." Kini
giliran ayahnya yang
menasehatinya. Putri
menimpal dengan senyum
kecut.
***
"Ade... mamah
sama ayah pulang!
Mamah bawa adik
baru tuh!" Ujar
Putri senang.
"Horee... Sifa
punya adik baru,
dari mamah Dewi!"
Ucap Sifa girang,
tak lain adalah
adiknya Putri. Putri
dan Sifa mendapatkan
seorang adik, walaupun
bukan adik dari
rahim ibunya. Bu
Dewi dan Pak
Anton sudah dianggap
sebagai orang tua
kedua bagi Putri
dan Sifa. Keluarga
Putri turut bahagia
dengan kelahiran bayi
dari Bu Dewi.
Apalagi bayinya berjenis
kelamin laki-laki. Keluargannya
sangat senang menyambutnya,
karena belum pernah
merasakan indahnya mempunyai
bayi laki-laki.
"Adiknya, laki-laki
nih, Kak! Mungil
dan gendut." Ucap
Pak Anton.
Semua orang
yang ada tersenyum
mengembang. Tak lupa
Pak Anton member
nama anak keduanya
ini, dengan nama
: Daffa Maulana
Akbar. Begitulah nama
anaknya yang telah
ia sediakan.
"Nama yang
bagus dan indah,
Pak Anton!" Timpal
Pak Heri, ayahnya
Putri dan Sifa.
"Aam sudah
diberitahu, Mah?" Tanya
Putri pada mamahnya.
"Sudah, Kak!
Tapi, Aam tidak
bisa pulang kesini.
Dia kan baru
masuk SD di
Lampung. Lagi pula,
Aam dan neneknya
belum ada uang
untuk ongkos kesini.
Aam dan neneknya
bahagia. Mereka hanya
menitip salam dan
doa" Jelas Mamahnya.
Putri mulai mengerti.
***
Bulan berganti
bulan. Daffa mulai
berkembang pertumbuhannya. Daffa
sudah bisa mengangkat
kepala tegak ketika
tengkurap, sudah bisa
meraih benda yang
ada di dekatnya,
bisa tengkurap sendiri,
duduk sendiri, juga
memegang biskuit, dan
sudah bisa mengucapkan
kata-kata seperti mamah
dan papah. Walaupun
Daffa belum bisa
untuk merangkak dan
berjalan. Bobot badannya
terlalu gemuk untuk melakukan
semacam itu. Waktu
demi waktu yang
selalu tersedia, Putri
dan Sifa selalu
menyempatkan untuk bermain
bersama Daffa. Ayahnya
yang disibukkan dengan
pekerjaannya, dapat membagi
waktu, untuk mengajak
Daffa bermain bersama.
"Pa...pah..." Ucap
Daffa dengan suara
mungilnya pada Ayah.
Betapa senangnya Ayah,
ketika ia dipanggil
papah oleh Daffa.
Kedekatan Ayahnya dengan
Daffa, tidak membuat
Putri dan Sifa
cemburu. Sebaliknya kebahagiaan
seperti itulah yang
sangat Putri idamkan.
Lain dengan Sifa.
Kadang Sifa merasa
iri dan cemburu
pada Daffa, karena
ayah dan mamahnya
menyayangi Daffa. Namun hal
itu tidak menyurutkan
dan tidak menyingkirkan
rasa kasih, sayang,
dan cinta Sifa
terhadap Daffa. Setiap
pagi atau sore,
Mamahnya selalu dengan
senang hati memandikan
Daffa. Dengan semangat
45, mamahnya memandikan
Daffa dengan penuh
kasih sayang. Dari
balik pintu, tidak
jauh dari mamahnya
yang sedang memandikan
Daffa, Putri melihat
semua kebahagiaan yang
terpancar dari wajah
mamahnya dan wajah
Daffa. Sebuah pelangi
yang selalu datang
ke rumahnya, menebarkan
warna-warna cinta. Pelangi
itu, adalah Daffa.
Entah ada ilham
datang dari mana,
hatinya menulis sebuah
puisi.
Kau adalah
pelangiku
Memberi warna-warna
cinta
Tak pernah
lelah
Menebarkan cinta
dan kasih
Tak pernah
lelah
Meneduhkan gelisah
nyala
***
Tanggal 1
maret Daffa berulang
tahun yang ke 1. Umurnya
telah menginjak satu
tahun. Namun di
hari ulang tahunnya,
Daffa sakit. Badannya
panas dan membuat
Daffa tidak nafsu
makan. Betapa terkejutnya
Putri dan keluarganya
mendengar bahwa Daffa
harus dirawat intensif
di Rumah Sakit.
Waktu telah
menunjukkan pukul dua
belas malam. Putri
dan Sifa terlelap
tidur dengan perasaan
yang tidak enak.
Entah mengapa hal
yang tidak diinginkan
selalu menghantuinya. Terdengar
suara ketukan pintu
dan suara orang
mengucapkan salam. Putri,
Sifa, dan orang
tuanya terbangun dan
membukakan pintu rumahnya.
"Assalammualaikum. Pak,
Bu! Maaf menganggu." Sapa
seorang bapak, tak
lain adalah pamannya
Daffa. Wajah bapak
itu, tiba-tiba pucat
pasi.
"Waalaikum salam.
Eh, Pak Agus!
Ada apa ya,
Pak datang malam-malam
begini." Jawab Ayah
Putri dan Sifa
ramah, walaupun hatinya
sedang resah memikirkan
Daffa.
Pak Agus
memulai dengan menarik
nafasnya dalam-dalam, lalu
mengeluarkannya
perlahan-lahan. Ia pun
mulai berbicara. Di
pembicaraannya yang terakhir,
Putri, Sifa, Ayah,
dan Mamah di
buat kaget bukan
main. Jantung mereka
bagai mau copot.
Dan kaki -kaki mereka
seperti tidak kuat
untuk berdiri. Daffa
telah dipanggil oleh
sang Illahi. Daffa
telah pergi untuk
selamanya. Rasanya seperti
mimpi buruk. Tetes
demi tetes air
telah membulir di
pipi mereka. Pelangi
yang selama ini
selalu menebarkan warna-warna
cinta, telah hilang
untu tidak kembali.
***
Seminggu sepeninggal
Daffa. Putri dan
Sifa seakan telah
kehilangan semangat hidup.
Namun, pada akhirnya
mereka telah mengikhlaskan
kepergian sang pelangi.
Mamah dan ayahnya
telah siap kembali
melanjutkan perjalanan hidup
yang indah gilang-gemilang. Walaupun
Putri sering mendengar
lantunan doa-doa dan
isakan tangis sang
ayah selama di
tinggal Daffa. Untuk
selamanya.
Ya Allah,
Tarulah Daffa
di surgamu
Berilah kenyamanan
dan kebahagiaan
Serta bantulah
kami semua
Untuk mengikhlaskan juga
Tabah dalam
menjalani hidup ini
Begitulah lantunan
doa ayahnya. Dan
seterusnya ia tidak
mendengarkannya lagi. Ia
sangat sedih mendengar
doa ayahnya, karena
rumahnya sudah tidak
terisi oleh warna-warna
pelangi yang selalu
menebarkan kebahagiaan, tawa,
canda, dan cinta.
Satu tahun
berlalu,
Bu Dewi
dan Pak Anton
yaitu orang tua
Daffa memberitahukan, bahwa
Bu Dewi hamil kembali.
Cahaya cinta telah
muncul kembali dalam
hidup mereka.
***
Satu tahun
kemudian,
"Bayinya laki-laki
Bu, Pak!" Ucap
seorang suster memberi
tahu.
"Allhamdulillah." Ucap
Pak Anton disambung
ucapan Putri dan
keluarganya bersamaan.
Aam dan
neneknya hadir disaat
persalinan itu. Karena
mereka tidak ingin
kejadian yang pahit,
datang kembali untuk
yang kedua kalinya.
"Allahu
akbar! Subhanallah!" Kata
itu yang selalu
mereka ucapkan ketika
melihat bayi yang
dilahirkan Bu Dewi. Wajahnya, hidungnya,
bibirnya, sorot matanya,
gerak-gerik tangan dan
kakinya, semuanya mirip
Daffa. Betapa adilnya
Allah pada mereka.
Pelangi yang dulu
hilang telah kembali
dengan pancaran yang
sama. Tak henti-hentinya mereka
mengucapkan syukur.
Pak Anton
mempersilakan Pak Heri
yang memberi nama
anaknya. Dan akhirnya
Pak Heri memberi
nama anak ketiga
Pak Anton, dengan
nama Muhammad Bagus
Adirama. Pelangi yang
dulu hilang, kini
telah kembali menebarkan
warna barunya yang
indah menawan. Memberikan
cinta, kasih, dan
sayang. Dari lubuk
hatinya yang paling
dalam, Putri berdoa
:
Ya Allah,
Ya Rabb
Terima kasih
telah mengembalikan pelangiku
Ya Allah,
Engkau telah
membut hamba dan
keluarga
Bisa tersenyum
kembali
Setelah cobaan
hidup kami lalui
Ya Allah,
Izinkanlah hamba
dan keluarga
Untuk menjaga,
melindungi, menyayangi
Serta mencintai
amanat-Mu ini
Berikanlah secercah
harapan
Dan sedikit
kebahagiaan
Pada kami
dalam melangkah
Di masa
yang akan datang
Kepada pelangiku
yang telah
Engkau kembalikan,
Ya Allah
Amin...
***
0 komentar:
Posting Komentar