Ingin ku berlari jauh
Namun aku tak mampu
Bersembunyi darimu
Selaluku tepis bayanganmu
Tapi luka semakin menganga dalam kalbu
Kubiarkan semua apa adanya
Meski ku semakin larut dalam harapan hampa
Aku tunggu ketulusanmu
Walau harus selamanya
Aku memendam rindu. . .
Mungkin
itulah sebuah curahan hatiku ini, yang dilanda kesedihan karena cinta. Padahal
ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta. Namun, cintaku aneh. Mencintai dia,
yang mempunyai saudara kembar yang membenciku. Ya, sosok yang aku cintai itu
mempunyai saudara kembar. Namanya Angga dan Anggi. Anggalah yang aku cintai.
Dia telah berhasil menarik hati ini, untuk mencintainya. Sedangkan Anggi. Huft,
dari tatapannya aja, aku sudah bisa menilai, kalau dia membenciku. Entah aku
sendiri juga nggak tau, apa salahku.
Angin
berhembus, menerpa wajahku dan menusuk tubuhku yang dibalut jilbab. Aku terus
terduduk di rumput, sambil menatap gunung yang menjulang tinggi dari kejauhan
mataku.
Pikiranku
teringat pada kenangan masa SMP dulu.
Sampai
di perpus. . .
“Nil?
Loe dicariin orang tuh!” lapor Icha, sahabatku.
“Siapa?”
tanyaku cuek.
“Hmm…
siapa ya?” Icha pura-pura mikir, sambil menggodaku. Aku mengangkat satu alis.
Icha
melihat sesuatu. “Sama dia!” tunjuk Icha pada Angga, yang baru menginjakkan
kaki di perpus. Aku bengong. Benarkah yang dikatakan Icha ini? Angga menatapku
sambil tersenyum. Hatiku entah mengapa, jadi cenat-cenut. Akhir-akhir ini,
semenjak sering bertemu Angga selalu perhatian dan rajin ke perpus. Aku cuek,
tidak mengubris. Toh pekerjaanku sebagai anggota perpus, masih menumpuk.
“Aku
bantuin ya?” tawar Angga, dengan senyum tulus. Ia sedikit salting.
Tak
kuat menahan senyum, akhirnya aku tersenyum juga buat dia. “Up to you.”
Jawabku.
Dan
benar saja. Angga membantuku. Ia tata rapih buku-buku yang berantakkan. Aku
tersenyum melihatnya.
“Cie…
cie…” goda Faris. Sahabat Angga. Aku dan Angga masa bodo. Memang persamaan kita
disekolah itu, sama-sama cuek. Namun, walau Angga cuek, tapi banyak saja
cewek-cewek yang mendekatinya.
Aku
tersadar, sambil tersenyum mengingat itu. Mataku tetap menatap pemandangan
gunung di kejauhan. Pikiranku kembali teringat kenangan masa SMP.
Waktu
itu, aku sakit di sekolah. Perutku sakit dan pusing. Akhirnya aku dibawa ke
ruang uks, dirawat oleh anak PMR kelas delapan. Tiba-tiba datang salah satu
anak PMR, bernama Sufi.
“Kak,
dapat surat nih!” katanya sedikit menggoda.
“Dari
siapa?” tanyaku. Keningku berkerut bingung.
“Sufi
udah janji, sama orangnya, nggak bakal ngasih tau namanya ke kakak. Maaf ya
kak!” terangnya.
Aku
heran, namun langsung kubuka saja surat itu, dengan perasaan campur aduk.
Mengenalmu
Anugerah dalam hidupku
Memilikimu
Itu yang selalu ku harapkan
Membiarkanmu berlalu
Tanpa sepatah kata pun
Yang terucap dari bibirku
Adalah suatu kebodohan dihidupku
Karena telat bagiku menyadari
Kau sangat berarti di dalam hidupku
Hanya secercah penyesalan
Yang bias ku rasakan
Disaat ku kehilanganmu
Dan menyadarinya…
Semoga
kamu cepat sembuh…
Keningku
berkerut lagi membaca surat itu. Namun aku terharu dengan kata-kata di surat
ini. Aku menatap kea rah jendela yang tidak tertutup gorden. Tiba-tiba sosok
yang aku rindukan selama seminggu ini, muncul. Angga. Ya, dia sedang berjalan
disitu. Mataku menatapnya, hingga dia menoleh dan menatapku. Tatapan yang sulit
untuk dilukiskan. Aku gugup. Segera saja, ku tundukkan kepalaku. Dan sekarang
aku merasa ia telah pergi. Hari-hari ini juga, aku merasa dia menjauh dan
menghindariku. Setiap bertemu, dia selalu melempar pandangan kea rah lain. Dia
juga sudah jarang ke perpus. Ada apa ini? Kenapa dia berubah seperti itu?
Tapi,
setiap aku kenapa-napa, dia masih menunjukkan sikap perhatiannya. Seperti aku
sakit sekarang. Dia menghampiriku dan ikut membawaku ke UKS. Setelah itu, ia
pergi entah kemana. Aku tertidur di UKS. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang
datang. Aku merasakan gerak-geriknya.
“Nggak
tega juga, melihat kamu sakit begini. Kamu tau, aku memang cowok nggak jentel.
Bertemu kamu aja, aku harus sembunyi-sembunyi. Aku harap kamu cepat sembuh ya.
Aku bawakan sesuatu buat kamu.” Ucap seseorang itu, terdengar seperti suara
cowok. Dia menyentuh keningku, dan langsung beranjak pergi. Mataku terbuka
sedikit. Sungguh aku kaget. Aku tak menyangka. Ku kucek-kucek lagi
penglihatanku. Namun itu nyata. Sosok itu adalah Anggi. Cirri-ciri fisiknyalah
yang membuat ku yakin. Tatapanku beralih pada meja yang ada disampingku. Ada
kantong plastik yang berisi makanan. Aku jadi bingung dibuatnya.
Hari-hari itu, kulalui dengan sebuah
kebingungan. Namun, tiba-tiba aku tertampar oleh sebuah luka. Aku mendengar
dari sahabatku, Angga sudah punya pacar. Sakit rasanya. Dari situ, entah ada
rasa kecewa yang mendalam, hingga membuatku berniat untuk melupakannya dan
melupakan rasa yang dulu memenuhi hatiku.
***
“Ukhti, Nila?” panggil adik kelasku,
Zahra.
Aku menoleh ke asal suara. Seketika
pikiranku buyar. “Madza?” tanyaku.
“Ukhti, mudifah!” jawabnya memberitahu.
Aku heran. Baru seminggu kemarin aku
dijenguk, tapi sekarang di jenguk lagi. Ada apa gerangan? Ya. Aku memang
melanjutkan studyku di sebuah Pondok Pesantren. Semua itu, dengan niat menuntut
ilmu dengan mengharap ridho Allah dan untuk membahagiakan orang tuaku. Walau
telah lama ditambah jauh. Tapi, tetap saja sebuah kenangan masa SMP masih
teringat dibenakku.
“Oh, na’am. Syukron, Zahra!” balasku.
Zahra tersenyum. Aku segera bangun dari
duduk. “Mudifah, aina?” tanyaku lagi.
“Masyroh.” Jawabnya.
Ternyata aku di jenguk di trimbun.
Dengan langkah cepat, kuhampiri keluargaku disana.
***
Di samping kanan, dekat saung. Ada sebuah
mobil. Tapi bukan mobil, yang biasa di pakai keluargaku. Mobil itu, merek
kijang innova silver, bukan avanza silver.
“Nila?” panggil ayahku.
Aku tersenyum. “Ayah?” ku hampiri ayah
dan mamaku. Ku cium punggung tangan mereka dan pipi mereka. “Kok cepat banget
mudifahnya?” tanyaku, yang sedari tadi, keheranan.
“Ada yang mau bertemu kamu, sayang!”
terang mamaku, sambil tersenyum misterius.
Keningku berkerut bingung. “Man, ma?”
Pintu mobil terbuka. Lalu keluarlah
sosok Ibu dan Bapak paruh baya. Aku langsung mencium punggung tangan mereka.
Mereka tersenyum ramah padaku.
“Kamu cantik sekali, nak!” puji sosok
Ibu paruh baya itu.
Aku hanya bias tersenyum. “Terima kasih,
Bu!”
“Bu, Pak! Lebih baik kita duduk disini
dulu, sambil menunggu Nila dan Angga berbicara.” Jelas ayahnku, yang dibalas
langsung dengan anggukkan mereka berdua.
Aku kaget bukan main, mendengar
perkataan ayahku tadi.
Hah? Angga? Apakah aku salah dengar?
Angga ada disini? Jadi, Ibu bapak ini, orang tuanya Angga?
“Assalammualaikum!” sapa Angga, yang
baru keluar dari mobil.
Aku makin kaget, ketika Angga sudah ada
dihadapanku. Satu tahun lebih kita tidak bertemu. Kini, kita bertemu di suasana
berbeda. Angga terlihat lebih dewasa, memakai celana jeans hitam, dengan kemeja
biru dongker.
“Wa… waalaikum salam.” Balasku gugup,
sambil menunduk memainkan ujung kerudungku.
Angga tersenyum. “Kamu kaget ya, dengan
kedatanganku ini. Aku ngerti kok. Karena suatu sebab, aku dan orang tuaku
menemuimu disini.” Terangnya.
Aku mendongak. “Untuk apa?” tanyaku
dengan suara lirih.
“Anggi.” Jawabnya singkat, namun mampu
membuatku bagai tersengat aliran listrik.
***
Malu juga, berbicara dengan Angga di
depan santri-santri yang juga sedang di jenguk oleh orang tuanya. Banyak yang
ingin tau, sekedar bolak-balik, dan menatap. Aku risih. Lalu Angga mengajakku
untuk bergabung dengan orang tua kita. Aku masih tertegun. Rasanya seperti
mimpi Angga ada disini.
“Kamu kaget, ya Nak kami datang kesini?”
ucap ayahnya Angga ramah. Aku hanya bisa tersenyum kikuk.
“Sayang, kali ini mama sama ayah,
mengizinkan kamu untuk pulang.” Ucap ayahku.
“Pulang? Lho, memangnya kenapa, Yah?”
tanyaku heran.
“Kami sama-sama sudah mengerti soal ini.
Ini soal rasa, nak! Kamu sudah menanjak dewasa. Angga pun begitu. Wajar jika
misalnya kamu sedikit berkorban untuk orang yang menyayangimu!” terang mamaku.
Sumpah. Aku benar-benar nggak mengerti
dengan perkataan mama ini. Tanpa disuruh, mamanya Angga menjelaskan. Dan
penjelasan ini, mampu membuatku menitikkan air mata.
***
Di rumah sakit, didalam kamar cempaka
dua. Mataku terpaku pada satu titik. Anggi. Sosok yang dulu terlihat kuat,
dewasa, dan ceria. Kini menjadi sebaliknya. Gerimis juga hati ini melihatnya.
“Kanker otak yang dideritanya, sudah
stadium lanjut. Dokter hamper pasrah dengan kondisinya ini yang semakin parah.
Kamu tau, dia selalu mengigau menyebut namamu.” Terang Angga, yang duduk di
seberangku. Kini, mataku berani menatapnya, walau sebentar. Mataku kembali
menatap Anggi yang terbujur lemah di ranjang rumah sakit.
“Benarkah yang dikatakan kamu ini,
Angga? Sejujurnya, aku merasa Anggi membenciku.” Terangku.
Angga menggeleng kuat. “Tidak, Nil! Itu
nggak benar. Anggi sebenarnya menyukaimu! Dia menyayangimu. Hanya saja, dia
tidak tau, harus bagaimana menunjukkannya.”
Benarkah yang dikatakan Angga ini, Ya
Allah! Ucapan Angga begitu meyakinkan. Tiba-tiba, jari jemari Anggi bergerak.
Aku terkejut, namun lega.
“Nil… Nila…” lirih Anggi membuatku
terkejut.
“Aku, disini Gi!” ucapku.
Mata Anggi melirik ke arahku. Ia
tersenyum tulus. Hatiku bergetar. Ku balas senyuman itu. “Ma… ma… afkan… ak…
ku…”
Grafik pendetak jantung, yang tadinya
naik turun, kini berubah lurus beraturan. Itu adalah tanda, bahwa Anggi…
***
Ku berjongkok di dekat pusara bernisan
Anggi. Air mataku membulir. Disampingku, ada Angga yang menemani. Kini
tinggallah kami berdua yang menemani Anggi di rumah barunya.
“Kenapa kamu ninggalin aku, Gi! Kita
belum lama berbicara, tapi kenapa kamu udah langsung ninggalin aku begitu saja.
Aku bingung dengan ucapan maaf kamu itu. Aku juga masih bingung dengan
kedatanganmu di UKS waktu itu. Tapi aku selalu berdoa buat kamu, supaya kamu
bahagia disana.” Ku elus lembut nisan Anggi. Aku masih terisak.
“Nil… kita pulang yuk?” ajak Angga, yang
sedari tadi diam saja melihatku terisak. Aku mengangguk.
“Kamu baik-baik disini, Gi! Kita harus
pulang. Kita akan selalu berdoa untukmu!” ucap Angga. Suaranya terdengar berat.
***
“Nil?” panggil Angga dari belakang.
Sedari tadi, di perjalanan pulang, aku
memang berjalan membelakangi Angga. Langkahku terhenti, ketika mendengar dia
memanggilku. Aku menoleh. Kini tinggal jarak kira-kira sekitar satu meter yang
membatasi kami.
“Ada apa?” tanyaku.
“Masih ingatkah kamu, dengan surat yang
aku titipkan pada Sufi?”
Aku mengangguk. “Jadi, surat itu darimu?”
tebakku.
Angga mengangguk kuat. Ia terduduk di
bangku yang ada di sampingnya. Kepalanya tertunduk. “Sudah lama, aku
mencintaimu, Nil!” meluncurlah juga sebuah kalimat yang Angga pendam selama
hamper dua tahun ini. Aku kaget bukan main. Tak menyangka, ternyata sosok yang
mengajari aku jatuh cinta, juga mencintaiku.
“Maaf jika aku lancang dan baru
mengatakannya sama kamu. Waktu itu, aku bimbang. Karena aku harus memilih
diantara dua pilihan. Anggi yang semakin parah, atau cintaku. Aku sudah tau
sejak lama, kalau Anggi menyukaimu. Walau dia tidak pernah melihatkannya. Buku
diarynyalah yang memberitahuku. Disaat itu juga, aku mengalah. Kesembuhan Anggi
dan kebahagiaan Anggilah yang aku utamakan, dari pada cintaku.” Terang Angga
panjang lebar.
Aku terperangah mendengar penjelasan
itu. “Lalu, kenapa kamu melampiaskannya dengan pacaran?” tanyaku akhirnya.
“Selama ini, aku tidak pernah pacaran,
Nil! Tika hanyalah teman. Nggak lebih. Semua itu hanyalah gossip biasa.”
“Lalu, apa maumu sekarang?”
“Kejujuranmu.”
“Aku juga mencintaimu, Ga!” balasku
akhirnya. Angga menatapku. Ia tersenyum mengembang. “Tapi aku nggak mau, cinta
ini membawaku dalam kemaksiatan dan kesesatan.” Lanjutku.
Angga paham. “Sudah lama, aku
memahamimu, Nil! Aku mencintaimu, karena Allah!”
“Dan karena Allah-lah, aku ingin tidak
menjalin hubungan special denganmu!”
“Aku mengerti. Tapi satu hal yang harus
kamu tau. Hati ni, untuk kamu!”
Aku terharu mendengarnya.
“Lalu bagaimana dengan cinta ini?”
lanjut Angga.
“Kita tunggu sampai waktunya tiba. Aku
yakin, kalau kita jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kita.” Jawabku yakin.
Angga tersenyum dan mengangguk yakin.
Kami percaya. Pasti, jika Allah berkehendak kami jodoh, kami akan disatukan.
Dan pasti Allah akan selalu menuntun hati kami. Inilah dermaga cintaku dan dia.
0 komentar:
Posting Komentar